Serpihan Kasih Sayang
|
Plak! Sebuah tamparan yang panas mendarat di pipi kananku. Badanku jatuh.. Lalu terdengar makian Ayah.
“Dasar anak tak bisa diatur. Anak kurang ajar! Berani melawan orang tua! Mentang-mentang sudah besar!” Raut muka Ayah kian merah dibakar amarah.
“Ya, Hary memang anak yang tak bisa diatur! Berani melawan orang tua, tapi pernahkah Ayah pernah mengajari Hary bagaimana menghormati orang tua? Dimana Ayah disaat Hary masih kecil dan butuh perhatian serta kasih sayang Ayah? Pernahkah Ayah pikirkan betapa sakitnya hati Hary melihat teman kecil Hary yang akrab dengan Ayahnya? Pernahkah Ayah pikirkan itu?” Bantahku tak kalah keras
“Kamu?”
Dan ah…..sebuah tamparan lagi dipipku. Sakit sekali. Tapi ada ada yang terasa lebih sakit, dihati ini. Sejak dulu ketika Ayah meninggalkan Hary kecil dan membiarkanya menangis setiap malam bila merindukanya.
“Ya pukulah, pukulah terus Hary sampai mati Yah! Bukankah itu yang Ayah inginkan?” Jeritku seraya menantang tatap garangnya.
Tiba-tiba Ayah memegangi dadanya yang terasa sesak. Lalu ditelanya pil yang ai rogoh dari saku celanya.“Pergi kau! Pergi anak kurang ajar” Usirnya.
Mataku terasa kunang-kunang terhalang air mata yang telah menggenang. Dendam kembali merebak menyesakkan amarah dalam dada.
“Baik Hary akan pergi! Hary juga sudah muak! Rumah ini sudah seperti neraka”
Tanpa memperdulikan Ayah kutuju kamarku. Kukemasi pakaian sekolah dan buku,lalu kututup pintu dengan keras ketika keluar dari rumah itu. Panggilan Ayu adiku tak kuperdulikan. Amarah yang menyelimuti membuat emosiku meluap-luap.
Dengan lemas kulangkahkan kakiku kearah barat. Rumah kost-kostsan Jefri yang kutuju untuk tempat berlindung bila aku sedang minggat
“Mau ngapain malam-malam begini bawa tas segala? Mau ngungsi lo ya?” Tegur Jefri saat pintu terkuak.
“Iya gua mo ikut ngungsi sementara. Lo nggak keberatan khan?” Kutrobos Jefri untuk masuk kedalam. Lalu tubuhku terhempas sembarang. Emosi telah membuat badanku jadi penat.
Jefri turut duduk, nongkrong di depanku. Wajahnya meringis melihat keadaanku.”Apa ada bencana alam dirumah lo? Atau lo perang lagi ma bokap?” Ia memulai interogasi. Kujawab dengan anggukan saja.
“Ampun hoby banget sih lo berantem sama orang tua? Nggak bosan apa?” “Ayah yang selalu memulai! Seakan selalu ngatur, seakan ia berkuasa penuh atas diriku. Padahal apa yang dia lakukan dulu sama Mama gue sudah membuat gue kehilangan kepercayaan!” Kata ku berapi-api.
Jefri mendengus. Sepertinya turut ruwet dalam masalahku. “Itu lagikan? Selalu dosa masa lalu yang kau ungkit. Eh Hary kenapa sih lo gak mau nerima kenyataan? Sadar aja kenapa sih?”
“Seperti Mama gue?” Mata itu menatap Jefri dengan menyala. Lalu ada gelengan keras diantara marahnya, “Ngak Jef, gue gak bisa terima gitu saja. Gue bukan Mama yang manut saja sama Ayah. Gue lebih tahu, hati Mama juga tersiksa dengan penyelewengan Ayah dulu. Cuma ia tak pernah memperlihatkanya sama gue . ia selalu memperlihatkan kesabaran dan pura-pura tegar dihadapan gue, padahal batinya tersiksa, sampe meninggalnya. Dan itu nggak bisa gue terima Jef! Terlalu menyakitkan!”Lantas lo terus seteru sama Ayah lo dengan diakhiri pergi minggat dan kemudian........
“Jef!”Hary memotong kalimat yang akan di ucapkan sahabatnya. “Please!” jangan terus memperotes gue. Gue capek! Gue Cuma minta ijin tidur disini untuk beberapa lama. Untuk biaya, gue masih punya simpanan cukup. Jadi jangan khawatir bakal ngeroptin lo!”
“Bukan itu masalahnya Hary!”Jefri mendesak. “Gue cuma gak mau mendengar lo terus-terusan ribut sama Ayah lo. Itu aja!”
“Sudahlah!”Kukibaskan tanganku. “Gue suntuk !” mo tidur. Besok aja kita terusin debat kita, okey?
Tanpa memperdulikan Jefri lagi, aku mulai berbenah. Lalu tidur tengkurap menangkup kepala. Ingi menghilangkan kepenatan atas segala masalah yang ada di ruang otaku.
***
Seharian ini aku hanya tiduran dikamar jefri. Nggak berangkat sekolah. Males rasanya. Memikirkan kekacauan yang melanda hidupku dan hubungan baruku dengan Ayah membuat kepalaku tambah suntuk.
Dulu aku benci kepada Ayah karena telah meninggalkan Mama dan aku. Keirian Hary kecil atas pemandangan yang setiap hari dilihat bila teman-teman kecilnya pulang pergi diantar Ayah dan Mamanya, bisa menglendot bermanja-manja pada Ayah dan cemoohan yang sering ia dapatkan teman-teman karena Ayah punya Mama baru, begitu lekat mematri sampai aku besar. Tak kudapatkan ciuman sayang atau nasihat-nasihat yang menyejukan sampai aku remaja. Hanya ada Mama yang memberikan kasih sayang dan fungsi gandanya yang menjadi Mama sekaligus Ayah buatku. Tapi terasa saja timpang dan hilang.
Aku tatap terasa kurang walau perhatian Mama tercurah untuku. Hingga.......... Meninggalkanku untuk selamanya saat aku mnginjak remaja dengan membawa jiwa yang masih labil. Bila saja Mama tak menyuruhku ikut Ayah dalam pesan terakhirnya, mungkin aku takan turut Ayah sampai saat ini. Langkahku pun mulai tidak benar. Aku mulai kenal dengan minuman keras, drugs dan narkotika sebagai pelarian. Karena aku merasa tidak ada yang mengarahkanku, tidak ada yang menasihati aku dan menyayangiku lagi setelah kepergian Mama. Mungkin rasa kepergian yang amat sangat dikala aku belum siap menerimanya.
Sampai suatu ketika hadir Rinjani dalam kehidupanku yang dapat memberikan nuansa baru dalam kehidupan sekligus tempat mencurahkan isi hati dan memacu semangat untuk menjalani hidup dan segala problematika dengan lebih tegar. Rinjani memberikanku rasa aman dan kekuatan untuk meninggalkan mainan-mainan terlarang itu. Dia yang manis dan lucu. Yang membuatku merasa istimewa dan semangat menjalani hari-hari yang masi penuh keruwetan karena ketidak akuranku dengan Ayah. Perseteruan anak dan ayah yang tak kunjung menemukan titik temu. Karena keduanya terlalu egois dan tak mau membuka diri.
Lamunanku terjegal saat mendengar ketukan pintu. Saat kubuka ternyata Jefri yang baru pulang bersama Rinjani. Hatiku kembali senang melihat sosok mungil yang tengah tersenyum ke arahku.
Ku gandeng ia membawanya masuk.
”Hary, kamu ribut lagi dengan Ayahmu?”tanya langsung setelah kami duduk berdampingan.
“Ahh, sudah biasa kok” jawabku dengan datar, “Pantes kamu enggak sekolah. Aku cari-cari kamu Hary. Kenapa kamu enggak telepon?” “Aku enggak mau nyusain kamu yang”jawabku dengan lirih. Jefri meninggalkan kami berdua. Tak lepas tatapku hingga di wajah manis Rinjani ia balas menatapku. Senyumnya menyembul membasuh segala gelisahku. Tangannya meraih tanganku dan membawanya kedalam genggaman hangatnya. Kubiarkan ia leyehan menyenderkan kepalanya ke dadaku. Hatiku tentram sekali bila ada didekatnya. Kabur sudah segala masalah yang seharian tadi menghimpitku.
“Aku di biarkan kalut nggak lihat kamu seharian tadi. Aku takut Hary, kamu melarikan masalahmu ke hal-hal buruk seperti dulu. Kenapa sih kamu tak menghubungiku? Apa kamu sudah tak mau membagikan kesulitanmu padaku? Kamu sudah nggak percaya aku Hary?” Tangan mungil bergerak membelai wajahku. Memberi sentuhan dalam getar lembut nan syahdu.
“Sudah kubilang Rin, aku nggak ingin kamu turut terlibat dalam keruwetan ini”
“Tapi aku kan pacarmu Hary! Wajar kalau aku turut mengerti apa yang terjadi sama kamu, kamu tak suka?”Ia seperti merajuk.
“Aku suka, aku suka manis. Tapi sudah deh aku nggak mau ngomongin itu lagi. Aku cuma ingin ngomong, aku mencintaimu!”.Rona wajahnya memerah dadu berpaling menghindari tatap dalamku. Dengan segenap rasa yang makin mengelora kupeluk tubuhnya ke dalam dekapanku.
“Malam minggu besok, aku jemput kamu ya?”sambil melepaskan pelukanku, “Emang, mau kemana?” Tanyanya menyisakan bengong di wajah putihnya. “Tuh kan, kamu lupa! Dasar nenek pikun, malam minggu besok kan malam final festival musik antar remaja. Nah, aku ini kan bassisnya yang ikutan festival. Remember?
“Oh yah, aku lupa?”
Tawaku lepas mendengar kalimatnya. Ahh Rin. Kalau ia sudah berada disisiku selalu saja memberi kebahagiaan dan kesejukan. Pada hati yang gundah sekalipun. Dia-diam, hatiku merebak haru.
***
Festiva musik antar remaja sudah berakhir beberapa saat. Pengumuman para pemenag pun sudah lama berlalu. Lumayan, group musikku mendapat posisi ke dua. Tidak terlalu mengecewakan apalagi mengingat rival yang harus kami singkirkan ituy terdiri dari lima belas group yang tangguh dan bagus.
Di sudut lain, Eki, Tino dan Jefri tengah nongrong bareng teman-teman lain yang tadi jadi suporter. Mereka tertawa-tawa senang merayakan kemenangan. Aku sengaja memisahkan diri dari rombongan. Memilih duduk berduaan bareng Rinjani menikmati sebotol teh Sosro dan nasi goreng yang mangkal di area festival. Hingar-bingar musik dari arah panggung cukup membuat suasana makin kaya pasar kagettan saja. Acara memang sedang diisi oleh salah satu group musik yang jadi bintang tamu.
Dalam cahaya yang agak temaram kulihat wajah itu memancarkan keanggunan yang membuat terpana. Tak heran kalau sejak tadi kerjaku hanya menatapnya tanpa kebosanan.
“ Hary....”suara lembutnya memanggilku.
“Apa kamu terus tinggal dengan jefri?”
Ku angkat bahuku. Ada rasa enggan untuk membicarakanya.
“Tapi yang jelas aku akan pulang setelah suasana dingin Rin. Memang, aku kecewa pada Ayah tapi akhir-akhir ini.... aku jadi banyak berfikir, interopeksi. Aku kasihan pada Ayah, Aku pun sebenarnya sayang pada Ayah Rin. Siapa sih yang mau ribut terus sama Ayahnya?” Terangku pelan.
Ada senyum yang teramat manis seiring tanganya yang menyentuh tanganku.
“Ya, mudah-mudahan saja kamu berhasil baikan lagi sama Ayahmu ya Hary!” tatapku kian lekat pada wajah Rinjani. Ada ketulusan di jendela hati itu. Aku benar-bener bersyukur mempunyai kekasih sebaik dia.
“Ready Hary?”
“Yess!”
Jefri menutup restelting travel bag-nya. Ceritanya, ia lagi ikutan ngepak bajuku yang udah berubah menjadi gombal cucian. Sudah bulat keputusanku bedasarkan yang muncul selama pelarianku, aku akan pulang dan mencoba memperbaiki hubungan tak beresku dengan Ayah. Kukira musti yang mengalah. Walau aku sendiri kurang mengerti dengan niatku. Karena kadang, dendam masa lalu atas segala yang pernah lakukan padaku dan Mama selalu dengan tiba-tiba menyeruak dan membuat ketakberesanku kumat untuk selalu melawan, menantang dan membuat Ayah kesal dengan masalah-masalah yang kuciptakan. Bagaimana pun, kadang rasa dendam rasa itu datang. Dendam yang kusadari tidak benar, karena yang kutumpahi dendam itu Ayahku sendiri. Orang yang menjadi aliran asal-muasalku.
“Ingat, kalau nanti berhadapan dengan Ayah lo, kepala loe musti dingin. Mengalah sedikit sama orang tua nggak apa deh. Lagian maklum aja, kita masih muda, dia sudah tua.”
“Iya, yang disebut pahlawan tuh yang sudah gugur. Lagian, lo ngomong nggak puguh juntrungnya gitu sih? Padahal tulalit!”protesku. Jefri tetawa.”Hary!” seiring dengan panggilan ,sosok wajah mengil menyeruak muncul didaun pintu dengan wajah terengah dan sedikit pucat. Rinjani.
Belum sempat bertanya, gadis itu sudah ceriwis kembali tak peduli dengan nafas yang tak beraturan
“Hary, cepat pulang! Ayahmu terkena stroke. Sekarang sudah di rumah sakit. Tadi Ayu yang telepon kerumahku, nanyain kamu!”
Seakan ada petir yang dekat sekali dari kupingku mendengar penjelasan Rinjani. Sertamerta di sambarnya travel bag lalu setengah lari mencari taksi. Ah....Rinjani!
***
“Ayah!”
Tubuh itu terbujur kaku di ruang ICU. Menurut dokter yang memeriksa, Ayah hanya terkena stroke ringan dan masa kritisnya sudah berlalu. Sebentar lagi akan siuman, begitu katanya.
Kutatap lekat wajahnya yang gurat-guratanya pada raut wajahku. Ada kesamaan dalam bentuk hidung. Bibir dan matanya denganku. Yang membuat kami berbeda adalah postur tubuh, Ayah tinggi besar sedang postur tubuhku lebih ngikut Mama, tinggi semampai.
Wajah itu bergerak, kelopak matanya terbuka perlahan. Aku terkesiap. Dan ada debar yang sangat nelangsa kala kudengar gumamnya memanggil-manggil namaku. Serta merta kuraih tangan kekarnya. Tangisku pecah tak terbendung saat itu ia memintaku untuk mendekat.
“Maafkan....Ayah.....Hary! Ayah yang salah.” Bisikanya terbata.
Aku mampu untuk berkata-kata. Sekat yang sangat pepat di tenggorokan hanya menyisakan kalimat-kalimat yang buncah dalam dada. Hary yang salah Pa. Hary keterlaluan. Hary tak bisa menerima kenyataan. Dendam masa lalu telah menjadikan kasih sayang Ayah dihati Hary pecah berkeping-keping. Kini, Hary akan mencoba memunguti serpih-serpih kasih itu Pa. Dan harap belum terlambat untuk menikmati serpih-serpih kasih benig seorang Ayah yang sekian lama hilang .
Entah sudah berapa lama aku tersuruk di pinggiran ranjang saat kudengar suara Ayah pelan. “Ayah sayang kamu. Hary!”
*The End*
Penulis : Datuk Faishal & Nurmala